Sabtu, 15 Oktober 2016

7 aspek budaya

7 ASPEK BUDAYA

Agama Islam merupakan agama yang dianut oleh sebagian besar masyarakat suku bangsa Jawa, yang tampak nyata pada bangunan-bangunan tempat beribadah orang-orang Islam. Di samping agama Islam terdapat juga agama besar yang lain, yaitu agama Nasrani dan agama lain. Namun tidak semua orang melakukan ibadahnya sesuai kriteria Islam, sehingga di dalam masyarakat terdapat :
1. Golongan Islam santri ialah golongan
yang menjalankan ibadahnya sesuai ajaran
Islam dengan melaksanakan lima ajaran
Islam dengan syariat-syariatnya.
2. Golongan Islam kejawen ialah golongan
yang percaya kepada ajaran Islam, tetapi
tidak secara patuh menjalanakan rukun-
rukun Islam, misalnya tidak shalat,
tidak pernah puasa, tidak pernah
bercita-cita untuk melakukan ibadah
haji, dan sebagainya.
Orang-orang Islam kejawen percaya kepada keimanan Islam walaupun tidak menjalankan ibadahnya, mereka menyebut Tuhan adalah gusti Allah dan menyebut Nabi Muhammad dengan kanjeng nabi. Kecuali itu, orang islam kejawen tidak terhindar dari kewajiban berzakat. Kebanyakan orang Jawa percaya bahwa hidup manusia di dunia ini sudah diatur dalam alam semesta sehingga ada yang bersikap nerimo, yaitu menyerahkan diri pada takdir.
Bersamaan dengan pandangan tersebut, orang Jawa percaya kepada suatu kekuatan yang melebihi dari segala kekuatan dimana saja yang pernah dikenal, yaitu kesaktian atau kasakten yang terdapat pada benda-benda pusaka, seperti : keris, gamelan, dan lain-lain. Mereka juga mempercayai keberadaan arwah atau roh leluhur, dan makhluk-makhluk halus, seperti memedi,  lelembut, tuyul, demit, serta ijin yang menempati alam sekitar tempat tinggal mereka. Menurut kepercayaan, makhluk halus tersebut dapat mendatangkan kesuksesan, kebahagiaan ketentraman, atau keselamatan. Tetapi sebaliknya ada juga makhluk halus yang dapat menimbulkan ketakutan atau kematian.
Bilamana seseorang ingin hidup tanpa menderita gangguan itu ia harus berbuat sesuatu untuk mempengaruhi alam semesta dengan cara, misalnya berprihatin, berpuasa, berpantang melakukan sesuatu perbuatan, serta makan-makanan tertentu, berkeselamatan dan sesaji. Selamatan dan bersesaji seringkali dijalankan oleh masyarakat Jawa di desa-desa pada waktu tertentu. Selamatan erat kaitannya dengan kepercayaan terhadap unsur-unsur kekuatan sakti maupun makhlus halus. Umumnya selamatan ditujukan untuk memperoleh keselamatan hidup dengan tidak ada gangguan-gangguan apa pun.
Selamatan adalah suatu upacara makan bersama atas makanan yang telah diberi doa sebelum dibagi-bagikan. Sesuai dengan peristiwa atau kejadian dalam kehidupan sehari-hari upacara selamatan dapat digolongkan ke dalam empat macam seperti berikut.
1. Selamatan dalam rangka lingkaran hidup
seseorang. Jenis selamatan ini meliputi :
hamil tujuh bulan, kelahiran, potong
rambut pertama, menyentuh tanah untuk
pertama kali, menusuk telinga, sunat,
kematian, peringatan serta saat-saat
kematian.
2. Selamatan yang bertalian dengan bersih
desa. Jenis selamatan ini meliputi
upacara sebelum penggarapan tanah
pertanian, dan setelah panen padi.
3. Selamatan yang berhubungan dengan hari-
hari serta bulan-bulan besar Islam.
4. Selamatan yang berkaitan dengan peristiwa
khusus. Jenis selamatan ini meliputi :
perjalanan jauh, menempati rumah baru,
menolak bahaya (ngruwat), janji kalau
sembuh dari sakit (kaul), dan lain-lain.
Di antara jenis-jenis selamatan tersebut,
selamatan yang berhubungan dengan kematian sangat diperhatikan dan selalu dilakukan. Hal ini dilakukan untuk menghormati arwah orang yang meninggal.
Jenis selamatan untuk menolong arwah orang di alam baka ini, berupa :
1. Surtanah atau geblak, yaitu selamatan
pada saat meninggalnya seseorang.
2. Nelung dina, yaitu selamatan hari ketiga
sesudah meninggalnya seseorang.
3. Mitung dina, yaitu selamatan hari ketujuh
sesudah meninggalnya seseorang.
4. Matang puluh dina, yaitu selamatan hari
ke 40 sesudah meninggalnya seseorang.
5. Nyatus, yaitu selamatan hari ke 100
meninggalnya seseorang.
6. Mendak sepisan, yaitu selamatan satu
tahun meninggalnya seseorang.
7. Mendak pindo, yaitu selamatan dua tahun
meninggalnya seseorang.
8. Nyewu, yaitu selamatan genap 1000 hari
meninggalnya seseorang. Selamatan ini
kadang-kadang disebut juga nguwis-
nguwisi, artinya yang terakhir kali.
Selain selamatan, masyarakat Jawa juga mengenal upacara sesajen. Upcara ini berkaitan dengan kepercayaan terhadap makhluk halus. Sesajen diletakkan di tempat-tempat tertentu, seperti di bawah kolong jembatan, di bawah tiang rumah, dan di tempat-tempat yang dianggap keramat. Bahan sesajen berupa : ramuan tiga jenis bunga (kembang telon), kemenyan, uang recehan, dan kue apam. Bahan tersebut ditaruh di dalam besek kecil atau bungkusan daun pisang. Ada pula sesajen yang dibuat pada setiap malam Selasa Kliwon dan Jumat Kliwon yang wujudnya sangat sederhana karena hanya terdiri atas tiga macam bunga yang ditempatkan pada sebuah gelas yang berisi air, bersama sebuah pelita, dan ditempatkan pada sebuah meja.
Tujuan menyediakan sesaji tersebut adalah agar roh-roh tidak mengganggu ketenteraman dan keselamatan anggota seisi rumah. Erat kaitannya dengan kepercayaan terhadap makhluk halus ini, ada pula sesaji penyadran agung yang masih tetap diadakan setiap tahun oleh keluarga Keraton Yogyakarta bertepatan dengan hari Maulud Nabi Muhammad SAW yang disebut Grebeg Maulud. Adapun kepercayaan kepada kekuatan sakti (kasakten) banyak ditujukan kepada benda-benda pusaka, keris, alat musik Jawa (gamelan), beberapa jenis burung tertentu (perkutut), kendaraan istana (Kereta Nyai Jimat dan Garuda Yeksa), serta kepada tokoh raksasa Bethara Kala.
Banyak aliran kebatinan yang timbul dalam masyarakat sebagai akibat dari sikap orang Jawa yang selalu mengadakan orientasi, yaitu :
1. Gerakan atau aliran kebatinan
keuaniyahan, aliran ini percaya adanya
anasir-anasir roh halus atau badan halus
serta jin-jin.
2. Aliran yang keislam-islaman dengan
ajaran-ajaran yang banyak mengambil
unsur-unsur keimanan agama Islam seperti
soal ketuhanan dan rasul-Nya dengan
syarat-syarat yang dibedakan syariat
Islam dengan unsur-unsur Hindu-Jawa yang
sering bertentangan dengan pelajaran
agama Islam.
3. Aliran kehindujawaan yang percaya kepada
dewa-dewa agama Hindu dengan nama-nama
Hindu.
4. Aliran-aliran yang bersifat mistik
dengan usaha manusia untuk mencari
kesatuan dengan Tuhan
  • BAHASA MASYARAKAT JAWA
Bahasa Jawa merupakan bahasa yang digunakan Suku Jawa, baik yang bermukim di belahan Utara Pulau Jawa (sekarang Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Yogyakarta) sebagai tempat lahir bahasa tersebut, maupun di berbagai tempat lainnya, yang dihuni secara signifikan oleh para pendatang dari tanah Jawa, dengan berbagai latar belakang. Artikel ini mengulas sejumlah isu populer yang berkenaan dengan bahasa Jawa, dan tidak menyinggung hal-hal yang berhubungan dengan ilmu tatabahasa.
Persebaran
Bahasa Jawa (basa Jawa) termasuk ke dalam rumpun bahasa Austronesian, yang hari ini menjadi bahasa ibu bagi lebih dari 40 persen penduduk dari populasi masyarakat Indonesia, yang tersebar hampir di seluruh penjuru tanah air. Sensus tahun 1980 menunjukan, bahasa Jawa digunakan di Yogyakarta oleh 97,6% dari populasi penduduk, di Jawa Tengah (96,9%), di Jawa Timur (74,5%), di Lampung (62%), di Sumatera Utara (21%), di Sumatera Utara (17%), di Bengkulu (15,4%) di Sumatera Selatan (12,4%), di Jawa Barat (13%), dan dituturkan oleh kurang dari 10% dari populasi penduduk di tempat-tempat lainnya di Indonesia. Selain di Indonesia, bahasa Jawa dengan penutur yang terbilang signifikan juga bisa ditemui di sejumlah negara, yakni di Malaysia, Singapura, Suriname, Kaledonia Baru, dan Belanda.
Dialek
Sebagai salah satu bahasa besar dengan banyak penutur, bahasa Jawa memiliki sejumlah dialek, seperti misalnya Jawa Tengahan, yang terutama di bawah pengaruh dialek Surakarta dan dialek Yogyakarta, yang dianggap sebagai standar. Berikut sejumlah dialek dalam ‘rumpun’ dialek Jawa Tengahan:
  1. Dialek Pekalongan, yang dituturkan di daerah Pekalongan (kabupaten dan kotamadya), serta di Pemalang.
  2. Dialek Kedu, yang dituturkan di daerah-daerah bekas keresidenan Kedu, yakni Temanggung, Kebumen, Magelang, dan Wonosobo.
  3. Dialek Bagelen, yang dituturkan di Purworejo.
  4. Dialek Semarang, yang dituturkan Semarang (kabupaten dan kotamadya), Salatiga, Demak, dan Kendal.
  5. Dialek Pantai Utara, atau dialek Muria, dituturkan di Jepara, Rembang, Kudus, Pati, dan juga di Tuban dan Bojonegoro.
  6. Dialek Blora, yang dituturkan di Blora, bagian Timur Grobogan dan bagian Barat Ngawi.
  7. Dialek Surakarta, yang dituturkan di Surakarta, Karanganyar, Wonogiri, Sukoharjo, dan Boyolali
  8. Dialek Yogyakarta, yang dituturkan di Yogyakarta dan Klaten.
  9. Dialek Madiun, yang dituturkan di Provinsi Jawa Timur, termasuk Madiun, Ngawi, Pacitan, Ponorogo, dan Magetan
Kemudian, dikenal juga istilah Jawa Kulonan , yang dituturkan di bagian Barat Jawa Tengah dan di sejumlah wilayah Barat Pulau Jawa, yang meliputi:
  1. Dialek Banten Utara (Jawa Serang), yang dituturkan di Serang, Cilegon, dan bagian Barat Tangerang
  2. Dialek Cirebon (Cirebonanatau Basa Cirebon), yang dituturkan di Cirebon dan Losari, Sementara dialek Indramayu (atau Dermayon) yang dituturkan di Indramayu, Karawang, dan Subang, oleh banyak pihak digolongkan ke dalam Cirebonan.
  3. Dialek Tegal (Tegalan atau Dialek Pantura), dituturkan di Tegal, Brebes, dan bagian Barat Kabupaten Pemalang.
  4. Dialek Banyumas(Banyumasan), dituturkan di Banyumas, Cilacap, Purbalingga, Banjarnegara, dan Bumiayu.
Oleh penutur bahasa Jawa lainnya, Dialek Jawa Kulonan ini sering disbut basa ngapak-ngapak.
Selain Jawa Tengahan dan Jawa Kulonan, dikenal juga istilah Jawa Timuran, yang dituturkan di ujung Timur Pulau Jawa, dari mulai wilayah Sungai Brantas di Kertosono, dan dari Nagnjuk hingga Banyuwangi, yang mencakup provinsi-provinsi di Jawa Timur, kecuali Pulau Madura. Dialek-dialek dalam ‘rumpun’ Jawa Timuran. Yakni:
  1. Dialek Surabaya(Suroboyoan), yang umumnya dituturkan di Surabaya, Gersik, Sidoarjo. Banyak orang Madura juga menggunakan dialek ini sebagai ‘bahasa’ kedua setelah bahasa mereka sendiri.
  2. Dialek Malang, yang dituturkan di Malang (kabupaten dan kotamadya), dan juga di Mojokerto.
  3. Dialek Jombang, yang dituturkan di Jombang.
  4. Dialek tengger, yang digunakan oleh orang-orang Tengger di sekitar Gunung Bromo.
  5. Dialek Banyuwangi (Basa Osing), yang dituturkan oleh orang-orang Osing di Banyuwangi.
Di samping tiga ‘rumpun’ dialek di atas, selebihnya, dikenal juga bahasa Jawa Suriname (Surinamese Javanese), yang umumnya berasal dari Jawa Tengah, terutama keresidenan Kedu.
Undhak-undhuk
Bahasa Jawa mengenal istilah undhak-undhuk atau aturan tatakrama dalam berbahasa, yang mencakup pertimbangan-pertimbangan relasi sosial dan peran sosial para penutur yang terlibat dalam percakapan. Setidaknya, dikenal tiga bentuk undhak-undhuk, yakni:
  1. Ngoko, (Ngaka), yang merupakan bahasa informal, yang umumnya digunakan di antara teman sebaya dan kerabat-kerabat terdekat, serta juga digunakan oleh orang dengan status sosial yang lebih tinggi kepada lawan bicara yang memiliki status sosial yang lebih rendah.
  2. Madya, yang berada di antara ngoko dan krama. Jenis ini umumnya digunakan di antara para penutur yang tidak akrab, seperti penanya di jalan di mana satu sama lain tidak mengetahui kelas sosialnya, dan ketika seseorang ingin berbicara tidak terlalu formal dan juga tidak terlalu informal.
  3. Krama, yang melupakan gaya paling sopan, yang umumnya digunakan orang-orang dalam status sosial sederajat ketika ingin menghindari gaya infrormal, atau digunakan oleh kalangan dengan status sosial yang lebih rendah kepada lawan bicaranya yang berasal dari golongan sosial yang lebih tinggi, termasuk dari yang lebih muda terhadap yang ebih tua.
  • KESENIAN MASYARAKAT JAWA
1) Seni Bangunan
Rumah adat di Jawa Timur disebut rumah Situbondo, sedangkan rumah adat di Jawa Tengah disebut Istana Mangkunegaran. Istana Mangkunegaran merupakan rumah adat Jawa asli.
rumah adat jawa timur tengah yogyakarta
Gambar 1. Rumah adat Suku Jawa.
2) Seni Tari
Tarian-tarian di Jawa beraneka ragam di antaranya sebagai berikut.
a) Tari tayuban adalah tari untuk meramaikan suasana acara, seperti: khitanan dan perkawinan. Penari tayuban terdiri atas beberapa perempuan.
b) Tari reog dari Ponorogo. Penari utamanya menggunakan topeng.
c) Tari serimpi adalah tari yang bersifat sakral dengan irama lembut.
d) Tari gambyong.
e) Tari bedoyo.
Reog Ponorogo
Gambar 2. Reog Ponorogo (Yan Arief Purwanto / flickr)
3) Seni Musik
Gamelan merupakan seni musik Jawa yang terkenal. Gamelan terdiri atas gambang, bonang, gender, saron, rebab, seruling, kenong, dan kempul.
4) Seni Pertunjukan
Seni pertunjukan yang terkenal adalah wayang, selain itu juga kethoprak, ludruk, dan kentrung.
  • MATA PENCAHARIAN MASYARAKAT JAWA
Sistem Ekonomi
Pada umumnya masyarakat bekerja pada segala bidang, terutama administrasi negara dan kemiliteran yang memang didominasi oleh orang Jawa. Selain itu, mereka bekerja pada sektor pelayanan umum, pertukangan, perdagangan dan pertanian dan perkebunan. Sektor pertanian dan perkebunan, mungkin salah satu yang paling menonjol dibandingkan mata pencaharian lain, karena seperti yang kita tahu, baik Jawa Tengah dan Jawa Timur banyak lahan-lahan pertanian yang beberapa cukup dikenal, karena memegang peranan besar dalam memasok kebutuhan nasional, seperti padi, tebu, dan kapas.
  1. Pertanian
Yang dimaksud pertanian disini terdiri atas pesawahan dan perladangan (tegalan), tanaman utama adalah padi. Tanaman lainnya jagung, ubi jalar, kacang tanah, kacang hijau dan sayur mayor, yang umumnya ditanam di tegalan. Sawah juga ditanami tanaman perdagangan, seperti tembakau, tebu dan rosella.
  1. Perikanan
Adapun usaha yang dilakukan cukup banyak baik perikanan darat dan perikanan laut. Perikanan laut diusahakan di pantai utara laut jawa. Peralatannya berupa kail, perahu, jala dan jaring.
  1. Peternakan
Binatang ternak berupa kerbau, sapi, kambing, ayam dan itik dan lain-lain.
  1. Kerajinan
Kerajinan sangat maju terutama menghasilkan batik, ukir-ukiran, peralatan rumah tangga, dan peralatan pertanian.
Dalam suku Jawa atau masyaraakat Jawa biasanya bermata pencaharian bertani, baik bertani disawah maupun tegalan, juga Beternak pada umumnya bersipat sambilan, selain itu juga masyarakat Jawa bermata pencaharian Nelayan yang biasanya dilakukan masyarakat pantai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar